Budaya Sunda (Baduy)









BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Budaya menurut asal katanya berasal dari bahasa Sansekerta yaitu dari kata “Budhaya”merupakan bentuk jamak dari “budhi” yang berarati budi atau akal. Jadi kebudayaan adalah hasil budi atau akal manusia yang mencapai kesempurnaan hidup. Menurut Edward B. Tylor dalam  bukunya “Primitive Culture”, kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks, yang didalamnya terkandung, ilmu pengetahuan kepercayaan, kesenian, moral, keagaamn hukum, adat istiadat, serta lain-lain.
Dengan demikian seperangkat cara bertingkah laku manusia dalam suatu masyarakat tersebut, seperti halnya yang diungkapkan oleh Koenjaraningrat tentang tujuh unsur budaya yaitu : (1) Sistem Religi dan upacara keagamaan:(2) Sistem Sosial dan organisasi kemasyarakatan:(3)Sistem Pengetahuan: (4) Bahasa :(5) Kesenian: (6) Sistem Mata Pencaharian (7); Sistem teknologi dan peralatan.
 Lebih lanjut Koenjaraningrat mengatakan bahwa kebudayaan merupakan seluruh totalitas dari pikiran manusia yang tidak berakar pada nalurinya dan karena itu hanya bisa dicetuskan oleh manusia stelah melalui suatu proses belajar, kkarena meliputi hampir seluruh aktivitas manusia di dalam kehidupannya.  
Begitu pula dengan adanya suku baduy. Suku Baduy adalah suku yang tidak lepas dari budaya. Masyarakat Baduy memilih menjadi masyarakat tradisional yang anti modernisasi. Pilihan kehidupan tersebut sesuai dengan keyakinan yang mereka anut yaitu Sunda Wiwitan yang lebih dekat dengan ajaran agama Hindu. Meskipun memilih menjadi masyarakat tradisional mereka tetap menghormati dan berhubungan dengan masyarakat modern yang ada di sekitar mereka. Aturan untuk mempertahankannya yang disebut Buyut (dalam Bahasa Indonesia disebut Tabu, dalam Bahasa Sunda disebut Pamali ). Buyut adalah larangan bagi warga Baduy. Inti dari pikukuh Baduy itu adalah Lojor teu meunang dipotong, pondok teu meunang disambung, artinya segala sesuatu yang ada dalam kehidupan, tidak boleh dikurangi maupun ditambah, harus tetap utuh.

1.2 Permasalahan
Seiring dengan perkembangan zaman kebudayaanya pun berubah, dimana perubahan tersebut membawa dampak bagi pola  pikir kita yang terus tertuju pada modernisasi dan westernisasi.  Semakin modernnya zaman masyarakat tertuntut untuk melestarikan budaya agar tidak terlupakan dan terkikis oleh zaman. 

1.3  Tujuan
Tujuan dalam penyusunan laporan Penelitian Survei suku  Baduy adalah untuk mengidentifikasi gambaran umum kondisi, lingkungan, kebudayaan serta  sistem sosial suku baduy dimana seharusnya kebudayaan dan sistem sosial lebih dilindungi dan dilestarikan.

1.4  Ruang Lingkup
Ruang lingkup terdiri atas dua yaitu ruang lingkup substansi dan ruang lingkup wilayah studi, untuk lebih jelasnya dapat dilihat sebagai berikut.

1.4.1 Ruang Lingkup Substansi
Adapun materi yang ada dalam penyusunan laporan ini adalah mengenai kajian yang ditinjau dari aspek Sosial dan kebudayaan yaitu, menjelaskan mengenai gambaran umum, kondisi, lingkungan serta hubungan interaksi antara suku baduy dengan masyarakat luar. 

1.4.2 Ruang Lingkup Wilayah Studi
Suku Baduy adalah salah satu suku di Indonesia yang tinggal di Desa Kanekes, Kecamatan Lebak, Kabupaten Lebak, Propinsi Banten (salah satu propinsi di Pulau Jawa). Berjarak sekitar 120 km dari Jakarta (Ibukota Negara Indonesia). Daerah Baduy tinggal Di Gunung Kendeng, untuk mencapai daerah tersebut juga dibutuhkan waktu yang relatif lebih lama dan jalan yang berat. Untuk menjelajahi Desa Kanekes dengan luas 5130,8 hektar

 BAB II
PEMBAHASAN

Orang Kanekes atau orang Baduy adalah suatu kelompok masyarakat adat Sunda di Kabupaten Lebak, Banten.
Istilah "Badui" adalah nama yang diberikan oleh penduduk di luar kelompok-kelompok masyarakat. Para peneliti mulai dengan nama Belanda yang tampaknya menyamakan mereka dengan sekelompok Arab Badawi yang merupakan masyarakat menetap (nomaden). Kemungkinan lain adalah bahwa karena Sungai dan Gunung Badui di bagian utara wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang Kanekes atau "orang Kanekes" sesuai dengan nama wilayah mereka, atau judul yang mengacu pada nama desa mereka sebagai Urang Cibeo (Garna, 1993).
 2.1    Lokasi dan Tempat Demografi
Baduy yang berlokasi di desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Rangkasbitung Banten terdiri dari kampung Gajebo, Cikeusik, Cibeo, dan Cikertawana dan terbagi atas baduy luar serta baduy dalam. Daerah yang berluas 138 ha, terdiri atas 117 kk yang menempati 99 rumah yang dinamakan Culah Nyanda atau rumah panggung, sedangkan rumah kokolot atau duku dinamakan Dangka, yang menghadap keselatan.
Masyarakat suku baduy yang berpenduduk kurang lebih 10 ribu jiwa ini tinggal di wilayah yang berbukit-bukit, dan berhutan-hutan, dengan memiliki lembah yang curam sedang, sampai curam sekali. Berdasarkan hasil pengukuran langsung di lapangan wilayah-wilayah pemukiman baduy rata-rata terletak pada ketinggian 250 m diatas permukaan laut, dengan wilayah pemukiman di daerah yang cukup rendah, yaitu 150 m diatas permukaan air laut dan pemukiman yang cukup tinggi pada ketinggian 400 m diatas permukaaan laut.
Berdasarkan  letak geografinya wilayah terletak pada 60 27’ 27” – 60 30’ LU dan 1080 3’ 9” – 1060 4’ 55” BT, dengan kontur berbukit – bukit dan rata –rata terlelak pada ketinggian 250 m diatas permukaan laut.

2.1         Asal Muasal Sejarah Tempat           
Mengenai asal usul orang Baduy, jawaban yang akan diperoleh adalah mereka keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke bumi. Asal usul tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama.
Menurut kepercayaan mereka, Adam dan keturunannya, termasuk warga Baduy mempunyai tugas bertapa atau asketik (mandita) untuk menjaga harmoni dunia. Mereka juga beranggapan bahwa suku Baduy merupakan peradaban masyarakat yang pertama kali ada di dunia.
Pendapat lainnya yang membuktikan orang Baduy manusia tertua setidaknya di Pulau Jawa , berdasarkan  bukti-bukti prasejarah dan sejarah, punden berundak Lebak Sibedug di Gunung Halimun 3 km lebih dari Cibeo berusia 2500 SM masa neolitik, memiliki kesamaan simetris dengan peninggalan yang sama  dengan piramida di Mesir dan Kuil Mancu Pichu di Peru ribuan tahun silam.
Sedangkan  Arca Domas hingga kini masih misterius, terletak disebelah selatan Cikeusik dihulu sungai Ciujung, pegunungan Kendeng bagian selatan dan dipublikasikan pertamakali oleh Koorders yang datang pada tanggal 5 Juli 1864 (Djoewisno, 1987).
Arca domas adalah menhir berukuran besar diatas punden berundak paling atas. Bangunan punden berundak ini juga dilengkapi menhir lainnya. Mereka percaya arca domas adalah lambang Batara Tunggal tempat dimana roh diciptakan dan berkumpul. Selain itu arca domas merupakan pusat bumi dan asal muasal manusia diturunkan ke bumi dan menjadi nenek moyang orang Baduy. Karena itu arca domas merupakan daerah larangan yang tidak boleh dimasuki orang luar (purwitasari, 2000)    
Asal-usul orang Baduy tersebut berbeda dengan pendapat para ahli sejarah, yang mendasarkan pendapatnya dengan cara sintesis dari beberapa bukti sejarah berupa prasasti, catatan perjalanan pelaut Portugis dan Cina, dan ceritera rakyat mengenai Tatar Sunda yang cukup minimal keberadaannya. Masyarakat Baduy dikaitkan dengan Kerajaan Sunda atau yang lazim disebut sebagai Kerajaan Pajajaran pada abad 15 dan 16, atau kurang lebih enam ratus tahun yang lalu.
Wilayah Banten pada waktu itu merupakan bagian penting dari Kerajaan Pajajaran, yang berpusat di Pakuan (wilayah Bogor sekarang). Banten merupakan pelabuhan dagang yang cukup besar. Sungai Ciujung dapat dilayari berbagai jenis perahu, dan ramai digunakan untuk pengangkutan hasil bumi dari wilayah pedalaman. Dengan demikian penguasa wilayah tersebut, yang disebut sebagai Pangeran Pucuk Umum menganggap bahwa kelestarian sungai perlu dipertahankan.
Untuk itu diperintahkanlah sepasukan tentara kerajaan yang sangat terlatih untuk menjaga dan mengelola kawasan berhutan lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng tersebut. Keberadaan pasukan dengan tugasnya yang khusus tersebut tampaknya menjadi cikal bakal Masyarakat Baduy yang sampai sekarang masih mendiami wilayah hulu Sungai Ciujung di Gunung Kendeng tersebut (Adimihardja, 2000).
Perbedaan pendapat tersebut membawa kepada dugaan bahwa pada masa yang lalu, identitas dan kesejarahan mereka sengaja ditutup, yang mungkin adalah untuk melindungi komunitas Baduy sendiri dari serangan musuh-musuh Pajajaran.
2.2         Kelompok-kelompok dalam masyarakat Kanekes
Masyarakat Kanekes secara umum terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu: tangtu, panamping, dan dangka (Permana, 2001).
Kelompok tangtu adalah kelompok yang dikenal sebagai Baduy Dalam, yang paling ketat mengikuti adat istiadat, masyarakat dan tinggal di tiga desa: Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik. Khas Badui manusia berpakaian putih, alam dan gelap biru dan mengenakan ikat kepala putih.
Kelompok-kelompok masyarakat pandamping adalah mereka yang dikenal sebagai Baduy Luar, yang tinggal di desa-desa yang tersebar di sekitar wilayah Baduy Dalam seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan sebagainya.
Baduy Luar berciri khas mengenakan pakaian dan ikat kepala hitam. Jika Baduy Dalam dan Keluar Badui tinggal di daerah Kanekes, maka "Bedouin Dangka" tinggal di luar wilayah Kanekes, dan saat ini tinggal di dua desa yang tersisa, yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam). Kampung Dangka berfungsi sebagai semacam buffer zone atas pengaruh dari luar (Permana, 2001).
 1.        Baduy Luar
Baduy Luar adalah orang-orang yang telah keluar dari adat dan wilayah Baduy Dalam. Ada beberapa hal yang menyebabkan dikeluarkanya warga Baduy Dalam Baduy Luar. Pada dasarnya, peraturan yang ada di Baduy luar dan Baduy di dalamnya hampir sama, namun di luar Baduy lebih akrab dengan teknologi dari pada Baduy dalam.
Penyebab
    * Mereka telah melanggar adat Baduy Dalam
    * Berkeinginan untuk keluar dari Baduy Dalam
    * Menikah dengan anggota Baduy Luar
Karakteristik masyarakat

  • Mereka telah mengenal teknologi, seperti peralatan elektronik, meskipun penggunaannya tetap merupakan larangan untuk setiap warga negara Badui, termasuk warga Baduy Luar. Mereka menggunakan peralatan dengan cara diam-diam untuk menghindari deteksi dari Baduy Dalam pengawas.
  • Penduduk Badui dalam Proses Pengembangan Luar Negeri DPR telah menggunakan alat bantu, seperti gergaji, palu, paku, dll, yang sebelumnya dilarang oleh adat Badui Dalam.
  • Menggunakan pakaian adat dengan hitam atau biru gelap (untuk pria), menunjukkan bahwa mereka tidak suci. Kadang menggunakan pakaian modern seperti T-shirt dan jeans.
  • Menggunakan peralatan rumah tangga modern, seperti kasur, bantal, piring & gelas gelas & plastik.
  • Mereka tinggal di luar wilayah Baduy Dalam.
2.        Baduy Dalam
Baduy Dalam adalah bagian dari seluruh suku Badui. Berbeda dengan Baduy Luar, warga Badui tetap berpegang teguh kepada adat istiadat nenek moyang mereka. Sebagian besar aturan yang diadopsi oleh suku-suku Badui meliputi:
  • Tidak diperbolehkan menggunakan kendaraan untuk transportasi
  • Tidak diperbolehkan untuk menggunakan alas kaki
  • Pintu harus menghadap utara / selatan (kecuali rumah puun)
  • Larangan penggunaan alat-alat elektronik (teknologi)
  • Menggunakan Kain berwarna hitam / putih sebagai pakaian yang ditenun dan dijahit sendiri, dan memakai pakaian modern
2.1         Tujuh Unsur Kebudayaan Suku Baduy
1)   Sistem Religi dan kepercayaan
Suku Baduy yang merupakan suku tradisional di Provinsi Banten hampir mayoritasnya mengakui kepercayaan sunda wiwitan. Yang mana kepercayaan ini meyakini akan adanya Allah sebagai “Guriang Mangtua” atau disebut pencipta alam semesta  dan melaksanakan kehidupan sesuai ajaran Nabi Adam sebagai leluhur yang mewarisi kepercayaan turunan ini.
Kepercayaan sunda wiwitan berorientasi pada bagaimana menjalani kehidupan yang mengandung ibadah dalam berperilaku, pola kehidupan sehari-hari,langkah dan ucapan, dengan melalui hidup yang mengagungkan kesederhanaan (tidak bermewah-mewah) seperti tidak mengunakan listrik,tembok, mobil dll.

 Ada beberapa kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat Baduy menurut kepercayaan sunda wiwitan:
  1. Upacara Kawalu yaitu upacara yang dilakukan dalam rangka menyambut bulan kawalu yang dianggap suci dimana pada bulan kawalu masyarakat baduy melaksanakan ibadah puasa selama 3 bulan yaitu bulan Kasa,Karo, dan Katiga.
  2. Upacara ngalaksa yaitu upacara besar yang dilakukan sebagain ucapan syukur atas terlewatinya bulan-bulan kawalu, setelah melaksanakan puasa selama 3 bulan. Ngalaksa atau yang sering disebut lebaran.
  3. Seba yaitu berkunjung ke pemerintahan daerah atau pusat yang bertujuan merapatkan  tali silaturahmi antara masyarakat baduy dengan pemerintah.
  4. Upacara menanam padi dilakukan dengan diiringi angklung buhun sebagaipenghormatan kepada dewi sri lambang kemakmuran.
  5. Kelahiran yang dilakukan melalui urutan kegiatan yaitu:
*      Kendit yaitu upacara 7 bulanan ibu yang sedang hamil. saat bayi itu lahir akan dibawa ke dukun atau paraji untiuk dijampi-jampi.
*      Setelah 7 hari setelah kelahiran maka akan diadakan acara perehan atau selametan.
*      Upacara Angiran yang dilakukan pada hari ke 40 setelah kelahiran.
* Akikah yaitu dilakukannya cukuran, khitanan dan pemberian nama oleh dukun (kokolot) yuang didapat dari bermimpi dengan mengorbankan ayam.
Perkawinan, dilakukan berdasarkan perjodohan dan dilakukan oleh dukun atau kokolot menurut lembaga adat (Tangkesan) sedangkan Naib sebagai penghulunya.
 Adapun mengenai mahar atau seserahan yakni sirih, uang semampunya, dan kain poleng. Dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari tentunya masyarakat baduy disesuaikan dengan penanggalan:
1.    Bulan Kasa
2.    Bulan Karo
3.    Bulan Katilu
4.    Bulan Sapar
5.    Bulan Kalima
6.    Bulan Kaanem
7.    Bulan Kapitu
8.    Bulan Kadalapan
9.    Bulan Kasalapan
10.     Bulan Kasapuluh
11.     Bulan Hapid Lemah
12.     Bulan Hapid Kay



1)   Sistem Organisasi dan Sosial Kemasyarakatan
Orang Baduy mengagap dirinya sebagai keturunan jauh dari 7 Batara atau Dewa, yang dikirim ke dunia di Sasaka Pusaka Buana oleh Batara  Batara tunggal. Mereka membagikan diri kedalam beberapa kelompok berdasarkan keturunan mereka. Karena itu mereka hidup dalam pemukiman yang berbeda. Ada 3 pemukiman di Tangtu ( daerah bagian dalam ), yaitu Cibeo,Cikeusek, dan Cikartawana. Setiap daerah pemukiman memiliki puun sendiri, yang secara adat memiliki tugas khusus dan mengadakan hubungan dengan sejumlah pemukiman di Dangka (daerah bagian luar Baduy).
Setiap pemukiman luar memiliki pemimpin sendiri yang disebut Jaro. Seluruh organisasi ini disebut “Masyarakat tiga Tangtu dan tujuh Jaro”. Dengan semakin banyak penduduk ada juga orang Baduy yang kini tinggal diluar tata susun resmi, yaitu di pemukiman tambahan yang disebut penamping atau pajaroan

Asal Pamarentahan Baduy
Dengan demikian, bagi orang Baduy seorang pemimpin dalam pamarentahan (jaro, girang seurat, tangkesan kokolotan, kokolot, dan baresan), berasal dari keturunan para puun yang artinya, satu sama lain terikat oleh garis kerabat. Dalam konteks itu, ciri penting dalam pamarentahan Baduy, terletak pada diferensiasi peran dan pembagian jabatan yang terpisahkan melalui struktur sosial, namun semuanya terikat oleh satu hubungan kerabat yang erat. Perbedaan peran yang mendasar antara para pemimpin yang disebut puun dan yang disebut para jaro, adalah pada tanggung jawab yang berurusan dengan aktivitasnya, karena para puun berurusan dengan dunia gaib sedangkan para jaro bertugas menyelesaikan persoalan duniawi. Atau, dengan perkataan lain, para puun berhubungan dengan dunia sakral dan para jaro berhubungan dengan dunia profan. Oleh karena itu, para pun menerima tanggung jawab tertinggi pada hal-hal yang berhubungan dengan pengaturan harmonisasi kehidupan sosial dan religius, sehingga kehidupan warga masyarakatnya dapat berlangsung dengan tertib.  
Dalam situasi seperti itu warga masyarakat dituntut patuh memenuhi ketentuan pikukuh yang telah digariskan para karukun. Pelanggaran terhadap pikukuh berarti telah siap menerima hukuman berupa pengusiran dari daerah tangtu. Atau, bagi masyarakat panamping melanggar ketentuan itu berarti harus menangung kewajiban bekerja di huma pun, yang lamanya disesuaikan dengan berat ringannya pelanggaran. 
Masyarakat Kanekes mengenal dua sistem pemerintahan, yaitu sistem nasional, yang mengikuti aturan negara Indonesia, dan sistem adat yang mengikuti adat istiadat yang dipercaya masyarakat. Kedua sistem tersebut digabung atau diakulturasikan sedemikian rupa sehingga tidak terjadi benturan. Secara nasional, penduduk Kanekes dipimpin oleh kepala desa yang disebut sebagai jaro pamarentah, yang ada di bawah camat, sedangkan secara adat tunduk pada pimpinan adat Kanekes yang tertinggi, yaitu "Pu'un". 

Struktur pemerintahan Kanekes
Pemimpin adat tertinggi dalam masyarakat Kanekes adalah "Pu'un" yang ada di tiga kampung tangtu. Jabatan tersebut berlangsung turun-temurun, namun tidak otomatis dari bapak ke anak, melainkan dapat juga kerabat lainnya. Jangka waktu jabatan Pu'un tidak ditentukan, hanya berdasarkan pada kemampuan seseorang memegang jabatan tersebut.
Pelaksana sehari-hari pemerintahan adat kapu'unan (kepu'unan) dilaksanakan oleh jaro, yang dibagi ke dalam empat jabatan, yaitu jaro tangtu, jaro dangka, jaro tanggungan, dan jaro pamarentah.
 Jaro tangtu bertanggung jawab pada pelaksanaan hukum adat pada warga tangtu dan berbagai macam urusan lainnya. Jaro dangka bertugas menjaga, mengurus, dan memelihara tanah titipan leluhur yang ada di dalam dan di luar Kanekes. Jaro dangka berjumlah 9 orang, yang apabila ditambah dengan 3 orang jaro tangtu disebut sebagai jaro duabelas. Pimpinan dari jaro duabelas ini disebut sebagai jaro tanggungan.
Masyarakat Kanekes yang sampai sekarang ini ketat mengikuti adat-istiadat bukan merupakan masyarakat terasing, terpencil, ataupun masyarakat yang terisolasi dari perkembangan dunia luar. Berdirinya Kesultanan Banten yang secara otomatis memasukkan Kanekes ke dalam wilayah kekuasaannya pun tidak lepas dari kesadaran mereka. Sebagai tanda kepatuhan/pengakuan kepada penguasa, masyarakat Kanekes secara rutin melaksanakan seba ke Kesultanan Banten (Garna, 1993).
Sampai sekarang, upacara seba tersebut terus dilangsungkan setahun sekali, berupa menghantar hasil bumi (padi, palawija, buah-buahan) kepada Gubernur Banten (sebelumnya ke Gubernur Jawa Barat), melalui bupati Kabupaten Lebak.
Di bidang pertanian, penduduk Kanekes Luar berinteraksi erat dengan masyarakat luar, misalnya dalam sewa-menyewa tanah, dan tenaga buruh.Perdagangan yang pada waktu yang lampau dilakukan secara barter, sekarang ini telah mempergunakan mata uang rupiah biasa. Orang Kanekes menjual hasil buah-buahan, madu, dan gula kawung/aren melalui para tengkulak.
Mereka juga membeli kebutuhan hidup yang tidak diproduksi sendiri di pasar. Pasar bagi orang Kanekes terletak di luar wilayah Kanekes seperti pasar Kroya, Cibengkung, dan Ciboleger.
Pada saat ini orang luar yang mengunjungi wilayah Kanekes semakin meningkat sampai dengan ratusan orang per kali kunjungan, biasanya merupakan remaja dari sekolah, mahasiswa, dan juga para pengunjung dewasa lainnya. Mereka menerima para pengunjung tersebut, bahkan untuk menginap satu malam, dengan ketentuan bahwa pengunjung menuruti adat-istiadat yang berlaku di sana. Aturan adat tersebut antara lain tidak boleh berfoto di wilayah Kanekes Dalam, tidak menggunakan sabun atau odol di sungai. Namun demikian, wilayah Kanekes tetap terlarang bagi orang asing (non-WNI). Beberapa wartawan asing yang mencoba masuk sampai sekarang selalu ditolak masuk.

 1)   Sistem Ilmu Pengetahuan
Sistem pengetahuan orang Baduy adalah Pikukuh yaitu memegang teguh segala perangkat peraturan yang diturunkan oleh leluhurnya. Dalam hal pengetahuan ini, orang Baduy memiliki tingkat toleransi, tata krama, jiwa social, dan teknik bertani yang diwariskan oleh leluhurnya. Dalam pendidikan modern orang Baduy masih tertinggal jauh namun mereka belajar secara otodidak. Jadi sebetulnya orang Baduy sangat informasional sekali sebetulnya, tahu banyak informasi. Hal ini ditunjang karena kegemaran sebagai orang rawayan (pengembara).
2)   Sistem Bahasa
Mayoritas masyarakat Baduy Sunda namun mereka tak menutup diri untuk terus mempelajari Bahasa nasional yakni bahasa Indonesia. Terbukti, tidak sedikit masyarakat Baduy yang dapat berbahasa Indonesia.

3)      Sistem Kesenian
Dalam melaksanakan upacara tertentu, masyarakat Baduy menggunakan  kesenian untuk memeriahkannya. Adapun keseniannya yaitu:
    1)      Seni Musi
    2)      Alat musik
    3)     Seni Ukir Batik.
    



4)      Sistem Pola Mata Pencaharian

Kehidupan orang Baduy berpenghasilan dari pertanian, dimulai pada bulan keampat kalender Baduy yang dimulai dengan kegiatan nyacar yakni membersihkan semua belukar untuk menyiapkan ladang. Ada 4 jenis lading untuk padi gogo yaitu humas serang, merupakan suatu lading suci bagi mereka yang berpemukiman dalam. Huma tangtu merupakan lading yang dikerjakan oleh orang Baduy Dalam yang meliputi Huma tuladan atau huma jaro. Huma penamping merupakan ladang yang dikerjakan oleh orang Baduy diluar kawasan tradisional. Sebagaimana yang telah terjadi selama ratusan tahun, maka mata pencaharian utama masyarakat Kanekes adalah bertani padi huma. Selain itu mereka juga mendapatkan penghasilan tambahan dari menjual buah-buahan yang mereka dapatkan di hutan seperti durian dan asam keranji, serta madu hutan.
 
5)      Sistem Teknologi Peralatan
 
Kehidupan orang Baduy berpusat pada daur pertanian yang diolah dengan menggunakan peralatan yang masih sangat sederhana.seperti bedog, kampak, cangkul, dll.

 
BAB III
KESIMPULAN

Kebudayaan adalah hasil budi atau akal manusia yang mencapai kesempurnaan hidup. Suku Baduy yang merupakan salah satu  kebudayaan yang terletak di desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Rangkasbitung Banten. Baduy merupakan suku yang tidak lepas dari budaya sehingga masyarakatnya memilih menjadi masyarakat tradisional yang anti modernisasi Suku baduy memiliki 2 kelompok masyarakat yang terdiri dari baduy luar dan baduy dalam. Kepercayaan yang mereka anut yaitu Sunda Wiwitan yang lebih dekat dengan ajaran agama Hindu.
Baduy memiliki tujuh unsur kebudayaan yang masih mereka percayai  untuk kelangsungan hidupnya. Tujuh unsur tersebut yaitu, sistem religi dan kepercayaan, sistem organisasi dan sosial kemasyarakatan, sistem ilmu pengetahuan, sistem bahasa, sistem kesenian, sistem pola mata pencaharian, dan sistem teknologi peralatan yang berperan penting dalam kehidupan mereka.
Jadi, suku baduy masih menjaga dan  mempertahankan kebudayaan dan adat istiadatnya di zaman yang sudah modern ini sehingga sebagai generasi muda seharusnya kita dapat mengambil nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya.





Komentar

Postingan populer dari blog ini

KEMITRAAN BERBASIS KOMUNITAS DI ASIA DALAM PENANGANAN PERMUKIMAN KUMUH (Sumber : United Nations Economic and Social Commission for Asia and the Pacific dan United Nations Human Settlements Programme, 2008)

Perencanaan Wilayah Dan Kota

Demografi