Budaya Sunda (Baduy)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Budaya
menurut asal katanya berasal dari bahasa Sansekerta yaitu dari kata
“Budhaya”merupakan bentuk jamak dari “budhi” yang berarati budi atau akal. Jadi
kebudayaan adalah hasil budi atau akal manusia yang mencapai kesempurnaan
hidup. Menurut Edward B. Tylor dalam
bukunya “Primitive Culture”, kebudayaan adalah keseluruhan yang
kompleks, yang didalamnya terkandung, ilmu pengetahuan kepercayaan, kesenian,
moral, keagaamn hukum, adat istiadat, serta lain-lain.
Dengan
demikian seperangkat cara bertingkah laku manusia dalam suatu masyarakat
tersebut, seperti halnya yang diungkapkan oleh Koenjaraningrat tentang tujuh
unsur budaya yaitu : (1) Sistem Religi dan upacara keagamaan:(2) Sistem Sosial
dan organisasi kemasyarakatan:(3)Sistem Pengetahuan: (4) Bahasa :(5) Kesenian:
(6) Sistem Mata Pencaharian (7); Sistem teknologi dan peralatan.
Lebih
lanjut Koenjaraningrat mengatakan bahwa kebudayaan merupakan seluruh totalitas
dari pikiran manusia yang tidak berakar pada nalurinya dan karena itu hanya
bisa dicetuskan oleh manusia stelah melalui suatu proses belajar, kkarena
meliputi hampir seluruh aktivitas manusia di dalam kehidupannya.
Begitu pula dengan
adanya suku baduy. Suku Baduy adalah suku yang tidak
lepas dari budaya. Masyarakat Baduy memilih menjadi masyarakat tradisional yang
anti modernisasi. Pilihan kehidupan tersebut sesuai dengan keyakinan yang
mereka anut yaitu Sunda Wiwitan yang lebih dekat dengan ajaran agama Hindu.
Meskipun memilih menjadi masyarakat tradisional mereka tetap menghormati dan
berhubungan dengan masyarakat modern yang ada di sekitar mereka. Aturan untuk mempertahankannya
yang disebut Buyut (dalam Bahasa Indonesia disebut
Tabu, dalam Bahasa Sunda disebut Pamali ). Buyut adalah larangan bagi warga
Baduy. Inti dari pikukuh Baduy itu adalah Lojor
teu meunang dipotong, pondok teu meunang disambung, artinya segala sesuatu yang ada
dalam kehidupan, tidak boleh dikurangi maupun ditambah, harus tetap utuh.
1.2 Permasalahan
Seiring dengan
perkembangan zaman kebudayaanya pun berubah, dimana perubahan tersebut membawa
dampak bagi pola pikir kita yang terus
tertuju pada modernisasi dan westernisasi.
Semakin modernnya zaman masyarakat tertuntut untuk melestarikan budaya
agar tidak terlupakan dan terkikis oleh zaman.
1.3 Tujuan
Tujuan dalam
penyusunan laporan Penelitian Survei suku
Baduy adalah untuk mengidentifikasi gambaran umum kondisi, lingkungan,
kebudayaan serta sistem sosial suku
baduy dimana seharusnya kebudayaan dan sistem sosial lebih dilindungi dan dilestarikan.
1.4 Ruang
Lingkup
Ruang lingkup terdiri atas dua yaitu ruang lingkup
substansi dan ruang lingkup wilayah studi, untuk lebih jelasnya dapat dilihat sebagai
berikut.
Adapun materi yang
ada dalam penyusunan laporan ini adalah mengenai kajian yang ditinjau dari
aspek Sosial dan kebudayaan yaitu, menjelaskan mengenai gambaran umum, kondisi,
lingkungan serta hubungan interaksi antara suku baduy dengan masyarakat luar.
Suku Baduy adalah salah satu suku di Indonesia yang tinggal
di Desa Kanekes, Kecamatan Lebak, Kabupaten Lebak, Propinsi Banten (salah satu
propinsi di Pulau Jawa). Berjarak sekitar 120 km dari Jakarta (Ibukota Negara
Indonesia). Daerah Baduy tinggal Di Gunung Kendeng, untuk mencapai daerah
tersebut juga dibutuhkan waktu yang relatif lebih lama dan jalan yang berat.
Untuk menjelajahi Desa Kanekes dengan luas 5130,8 hektar.
BAB II
PEMBAHASAN
Orang Kanekes atau orang
Baduy adalah suatu
kelompok masyarakat adat Sunda di Kabupaten
Lebak, Banten.
Istilah "Badui"
adalah nama yang diberikan oleh penduduk di luar
kelompok-kelompok masyarakat. Para peneliti mulai dengan nama Belanda
yang tampaknya menyamakan
mereka dengan sekelompok
Arab Badawi yang
merupakan masyarakat menetap
(nomaden). Kemungkinan lain adalah bahwa karena
Sungai dan Gunung
Badui di bagian
utara wilayah tersebut.
Mereka sendiri lebih
suka menyebut diri sebagai urang Kanekes
atau "orang Kanekes"
sesuai dengan nama
wilayah mereka, atau
judul yang mengacu pada nama desa mereka sebagai Urang
Cibeo (Garna, 1993).
2.1
Lokasi dan Tempat Demografi
Baduy
yang berlokasi di desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Rangkasbitung
Banten terdiri dari kampung Gajebo, Cikeusik, Cibeo, dan Cikertawana dan
terbagi atas baduy luar serta baduy dalam. Daerah yang berluas 138 ha, terdiri
atas 117 kk yang menempati 99 rumah yang dinamakan Culah Nyanda atau rumah
panggung, sedangkan rumah kokolot atau duku dinamakan Dangka, yang menghadap
keselatan.
Masyarakat suku baduy yang
berpenduduk kurang lebih 10 ribu jiwa ini tinggal di wilayah yang
berbukit-bukit, dan berhutan-hutan, dengan memiliki lembah yang curam sedang,
sampai curam sekali. Berdasarkan hasil pengukuran langsung di
lapangan wilayah-wilayah pemukiman baduy rata-rata terletak pada ketinggian 250
m diatas permukaan laut, dengan wilayah pemukiman di daerah yang cukup rendah, yaitu 150 m diatas permukaan air
laut dan pemukiman yang cukup tinggi pada ketinggian 400 m diatas permukaaan
laut.
Berdasarkan letak geografinya wilayah terletak pada 60
27’ 27” – 60 30’ LU dan 1080 3’ 9” – 1060 4’
55” BT, dengan kontur berbukit – bukit dan rata –rata terlelak pada ketinggian
250 m diatas permukaan laut.
2.1
Asal Muasal Sejarah
Tempat
Mengenai asal usul orang Baduy,
jawaban yang akan diperoleh adalah mereka keturunan dari Batara Cikal, salah
satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke bumi. Asal usul tersebut sering
pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama.
Menurut kepercayaan mereka, Adam dan
keturunannya, termasuk warga Baduy mempunyai tugas bertapa atau asketik
(mandita) untuk menjaga harmoni dunia. Mereka juga beranggapan bahwa suku Baduy
merupakan peradaban masyarakat yang pertama kali ada di dunia.
Pendapat lainnya yang membuktikan
orang Baduy manusia tertua setidaknya di Pulau Jawa , berdasarkan
bukti-bukti prasejarah dan sejarah, punden berundak Lebak
Sibedug di Gunung Halimun 3 km lebih dari Cibeo berusia 2500 SM masa
neolitik, memiliki kesamaan simetris dengan peninggalan yang sama dengan
piramida di Mesir dan Kuil Mancu Pichu di Peru ribuan tahun silam.
Sedangkan Arca Domas hingga
kini masih misterius, terletak disebelah selatan Cikeusik dihulu sungai
Ciujung, pegunungan Kendeng bagian selatan dan dipublikasikan pertamakali oleh
Koorders yang datang pada tanggal 5 Juli 1864 (Djoewisno, 1987).
Arca domas adalah menhir berukuran
besar diatas punden berundak paling atas. Bangunan punden berundak ini juga
dilengkapi menhir lainnya. Mereka percaya arca domas adalah lambang Batara
Tunggal tempat dimana roh diciptakan dan berkumpul. Selain itu arca domas
merupakan pusat bumi dan asal muasal manusia diturunkan ke bumi dan menjadi
nenek moyang orang Baduy. Karena itu arca domas merupakan daerah
larangan yang tidak boleh dimasuki orang luar (purwitasari, 2000)
Asal-usul orang Baduy tersebut
berbeda dengan pendapat para ahli sejarah, yang mendasarkan pendapatnya dengan
cara sintesis dari beberapa bukti sejarah berupa prasasti, catatan perjalanan
pelaut Portugis dan Cina, dan ceritera rakyat mengenai Tatar Sunda yang cukup
minimal keberadaannya.
Masyarakat Baduy dikaitkan dengan Kerajaan Sunda atau yang
lazim disebut sebagai Kerajaan Pajajaran pada abad 15 dan 16, atau kurang
lebih enam ratus tahun yang lalu.
Wilayah Banten pada waktu itu
merupakan bagian penting dari Kerajaan Pajajaran, yang berpusat di Pakuan
(wilayah Bogor sekarang). Banten merupakan pelabuhan dagang yang cukup besar.
Sungai Ciujung dapat dilayari berbagai jenis perahu, dan ramai digunakan untuk
pengangkutan hasil bumi dari wilayah pedalaman. Dengan demikian penguasa
wilayah tersebut, yang disebut sebagai Pangeran Pucuk Umum menganggap bahwa
kelestarian sungai perlu dipertahankan.
Untuk itu diperintahkanlah sepasukan
tentara kerajaan yang sangat terlatih untuk menjaga dan mengelola kawasan
berhutan lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng tersebut. Keberadaan
pasukan dengan tugasnya yang khusus tersebut tampaknya menjadi cikal bakal
Masyarakat Baduy yang sampai sekarang masih mendiami wilayah hulu Sungai
Ciujung di Gunung Kendeng tersebut (Adimihardja, 2000).
Perbedaan pendapat tersebut membawa
kepada dugaan bahwa pada masa yang lalu, identitas dan kesejarahan mereka
sengaja ditutup, yang mungkin adalah untuk melindungi komunitas Baduy sendiri
dari serangan musuh-musuh Pajajaran.
2.2
Kelompok-kelompok dalam masyarakat
Kanekes
Masyarakat Kanekes secara umum terbagi menjadi tiga kelompok,
yaitu: tangtu, panamping, dan dangka (Permana, 2001).
Kelompok tangtu adalah kelompok yang
dikenal sebagai Baduy Dalam, yang paling ketat mengikuti adat istiadat,
masyarakat dan tinggal di tiga desa: Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik.
Khas Badui manusia berpakaian putih, alam dan gelap biru dan mengenakan ikat
kepala putih.
Kelompok-kelompok
masyarakat pandamping adalah mereka yang dikenal sebagai Baduy Luar,
yang tinggal di desa-desa yang tersebar di sekitar wilayah Baduy Dalam seperti
Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan sebagainya.
Baduy Luar
berciri khas mengenakan pakaian dan ikat kepala hitam. Jika Baduy Dalam dan
Keluar Badui tinggal di daerah Kanekes, maka "Bedouin Dangka" tinggal
di luar wilayah Kanekes, dan saat ini tinggal di dua desa yang tersisa, yaitu
Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam). Kampung Dangka berfungsi
sebagai semacam buffer zone atas pengaruh dari luar (Permana, 2001).
1.
Baduy
Luar
Baduy
Luar adalah orang-orang yang telah keluar dari adat dan
wilayah Baduy Dalam. Ada beberapa hal yang menyebabkan dikeluarkanya warga
Baduy Dalam Baduy Luar. Pada dasarnya, peraturan yang ada di Baduy luar dan
Baduy di dalamnya hampir sama, namun di luar Baduy lebih akrab dengan teknologi
dari pada Baduy
dalam.
Penyebab
* Mereka telah melanggar adat Baduy Dalam
* Mereka telah melanggar adat Baduy Dalam
* Berkeinginan untuk keluar dari
Baduy Dalam
* Menikah dengan anggota Baduy Luar
Karakteristik
masyarakat
- Mereka telah mengenal teknologi, seperti peralatan elektronik, meskipun penggunaannya tetap merupakan larangan untuk setiap warga negara Badui, termasuk warga Baduy Luar. Mereka menggunakan peralatan dengan cara diam-diam untuk menghindari deteksi dari Baduy Dalam pengawas.
- Penduduk Badui dalam Proses Pengembangan Luar Negeri DPR telah menggunakan alat bantu, seperti gergaji, palu, paku, dll, yang sebelumnya dilarang oleh adat Badui Dalam.
- Menggunakan pakaian adat dengan hitam atau biru gelap (untuk pria), menunjukkan bahwa mereka tidak suci. Kadang menggunakan pakaian modern seperti T-shirt dan jeans.
- Menggunakan peralatan rumah tangga modern, seperti kasur, bantal, piring & gelas gelas & plastik.
- Mereka tinggal di luar wilayah Baduy Dalam.
2.
Baduy
Dalam
Baduy Dalam adalah bagian dari seluruh suku Badui.
Berbeda dengan Baduy Luar, warga Badui tetap berpegang teguh kepada adat
istiadat nenek moyang mereka. Sebagian besar aturan yang diadopsi oleh
suku-suku Badui meliputi:
- Tidak diperbolehkan menggunakan kendaraan untuk transportasi
- Tidak diperbolehkan untuk menggunakan alas kaki
- Pintu harus menghadap utara / selatan (kecuali rumah puun)
- Larangan penggunaan alat-alat elektronik (teknologi)
- Menggunakan Kain berwarna hitam / putih sebagai pakaian yang ditenun dan dijahit sendiri, dan memakai pakaian modern
2.1
Tujuh Unsur Kebudayaan Suku Baduy
1)
Sistem
Religi dan kepercayaan
Suku Baduy yang merupakan suku tradisional di
Provinsi Banten hampir mayoritasnya mengakui kepercayaan sunda wiwitan. Yang mana kepercayaan ini meyakini akan adanya Allah sebagai “Guriang
Mangtua” atau disebut pencipta alam semesta dan melaksanakan kehidupan
sesuai ajaran Nabi Adam sebagai leluhur yang mewarisi kepercayaan turunan ini.
Kepercayaan sunda wiwitan berorientasi pada
bagaimana menjalani kehidupan yang mengandung ibadah dalam berperilaku, pola
kehidupan sehari-hari,langkah dan ucapan, dengan melalui hidup yang
mengagungkan kesederhanaan (tidak bermewah-mewah) seperti tidak mengunakan
listrik,tembok, mobil dll.
Ada beberapa kegiatan yang dilakukan oleh
masyarakat Baduy menurut kepercayaan sunda wiwitan:
- Upacara Kawalu yaitu upacara yang dilakukan dalam rangka menyambut bulan kawalu yang dianggap suci dimana pada bulan kawalu masyarakat baduy melaksanakan ibadah puasa selama 3 bulan yaitu bulan Kasa,Karo, dan Katiga.
- Upacara ngalaksa yaitu upacara besar yang dilakukan sebagain ucapan syukur atas terlewatinya bulan-bulan kawalu, setelah melaksanakan puasa selama 3 bulan. Ngalaksa atau yang sering disebut lebaran.
- Seba yaitu berkunjung ke pemerintahan daerah atau pusat yang bertujuan merapatkan tali silaturahmi antara masyarakat baduy dengan pemerintah.
- Upacara menanam padi dilakukan dengan diiringi angklung buhun sebagaipenghormatan kepada dewi sri lambang kemakmuran.
- Kelahiran yang dilakukan melalui urutan kegiatan yaitu:
Perkawinan, dilakukan berdasarkan perjodohan dan
dilakukan oleh dukun atau kokolot menurut lembaga adat (Tangkesan) sedangkan
Naib sebagai penghulunya.
Adapun
mengenai mahar atau seserahan yakni sirih, uang semampunya, dan kain poleng.
Dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari tentunya masyarakat baduy disesuaikan
dengan penanggalan:
1.
Bulan Kasa
2.
Bulan Karo
3.
Bulan Katilu
4.
Bulan Sapar
5.
Bulan Kalima
6.
Bulan Kaanem
7.
Bulan Kapitu
8.
Bulan Kadalapan
9.
Bulan Kasalapan
10.
Bulan Kasapuluh
11.
Bulan Hapid Lemah
12. Bulan Hapid Kay
1) Sistem Organisasi dan Sosial Kemasyarakatan
Orang
Baduy mengagap dirinya sebagai keturunan jauh dari 7 Batara atau Dewa, yang
dikirim ke dunia di Sasaka Pusaka Buana oleh Batara Batara tunggal.
Mereka membagikan diri kedalam beberapa kelompok berdasarkan keturunan mereka.
Karena itu mereka hidup dalam pemukiman yang berbeda. Ada 3 pemukiman di Tangtu
( daerah bagian dalam ), yaitu Cibeo,Cikeusek, dan Cikartawana. Setiap
daerah pemukiman memiliki puun sendiri, yang secara adat memiliki tugas khusus
dan mengadakan hubungan dengan sejumlah pemukiman di Dangka (daerah bagian
luar Baduy).
Setiap
pemukiman luar memiliki pemimpin sendiri yang disebut Jaro. Seluruh organisasi
ini disebut “Masyarakat tiga Tangtu dan tujuh Jaro”. Dengan semakin
banyak penduduk ada juga orang Baduy yang kini tinggal diluar tata susun resmi,
yaitu di pemukiman tambahan yang disebut penamping atau pajaroan.
Dengan
demikian, bagi orang Baduy seorang pemimpin dalam pamarentahan (jaro, girang
seurat, tangkesan kokolotan, kokolot, dan baresan), berasal dari keturunan para
puun yang artinya, satu sama lain terikat oleh garis kerabat. Dalam konteks
itu, ciri penting dalam pamarentahan Baduy, terletak pada diferensiasi peran
dan pembagian jabatan yang terpisahkan melalui struktur sosial, namun semuanya
terikat oleh satu hubungan kerabat yang erat. Perbedaan peran yang mendasar antara para pemimpin yang disebut puun dan
yang disebut para jaro, adalah pada tanggung jawab yang berurusan dengan
aktivitasnya, karena para puun berurusan dengan dunia gaib sedangkan para jaro
bertugas menyelesaikan persoalan duniawi. Atau, dengan perkataan lain,
para puun berhubungan dengan dunia sakral dan para jaro berhubungan dengan
dunia profan. Oleh karena itu, para pun menerima
tanggung jawab tertinggi pada hal-hal yang berhubungan dengan pengaturan harmonisasi kehidupan sosial dan religius, sehingga kehidupan
warga masyarakatnya dapat berlangsung dengan tertib.
Dalam situasi seperti itu warga masyarakat dituntut patuh memenuhi
ketentuan pikukuh yang telah digariskan para karukun. Pelanggaran terhadap
pikukuh berarti telah siap menerima hukuman berupa pengusiran dari daerah
tangtu. Atau, bagi masyarakat panamping melanggar ketentuan itu berarti harus
menangung kewajiban bekerja di huma pun, yang lamanya disesuaikan dengan berat
ringannya pelanggaran.
Masyarakat
Kanekes mengenal dua sistem pemerintahan, yaitu sistem nasional, yang mengikuti
aturan negara Indonesia, dan sistem adat yang mengikuti adat istiadat yang
dipercaya masyarakat. Kedua
sistem tersebut digabung atau diakulturasikan sedemikian rupa sehingga tidak
terjadi benturan. Secara nasional, penduduk Kanekes
dipimpin oleh kepala desa yang disebut sebagai jaro pamarentah, yang ada
di bawah camat, sedangkan secara adat tunduk pada pimpinan adat Kanekes yang
tertinggi, yaitu "Pu'un".
Struktur pemerintahan Kanekes
Pemimpin adat tertinggi dalam masyarakat Kanekes
adalah "Pu'un" yang ada di tiga kampung tangtu. Jabatan
tersebut berlangsung turun-temurun, namun tidak otomatis dari bapak ke anak,
melainkan dapat juga kerabat lainnya. Jangka waktu jabatan Pu'un tidak
ditentukan, hanya berdasarkan pada kemampuan seseorang memegang jabatan
tersebut.
Pelaksana sehari-hari pemerintahan adat kapu'unan (kepu'unan)
dilaksanakan oleh jaro, yang dibagi ke dalam empat jabatan, yaitu jaro
tangtu, jaro dangka, jaro tanggungan, dan jaro pamarentah.
Jaro
tangtu bertanggung jawab pada pelaksanaan hukum adat pada warga tangtu
dan berbagai macam urusan lainnya. Jaro dangka bertugas menjaga,
mengurus, dan memelihara tanah titipan leluhur yang ada di dalam dan di luar
Kanekes. Jaro dangka berjumlah 9 orang, yang apabila ditambah dengan 3
orang jaro tangtu disebut sebagai jaro duabelas. Pimpinan dari jaro
duabelas ini disebut sebagai jaro tanggungan.
Masyarakat Kanekes yang sampai sekarang ini
ketat mengikuti adat-istiadat bukan merupakan masyarakat terasing, terpencil,
ataupun masyarakat yang terisolasi dari perkembangan dunia luar. Berdirinya Kesultanan Banten yang secara otomatis memasukkan Kanekes ke dalam wilayah kekuasaannya
pun tidak lepas dari kesadaran mereka. Sebagai tanda kepatuhan/pengakuan kepada
penguasa, masyarakat Kanekes secara rutin melaksanakan seba ke Kesultanan Banten (Garna, 1993).
Sampai sekarang, upacara seba tersebut terus
dilangsungkan setahun sekali, berupa menghantar hasil bumi (padi, palawija,
buah-buahan) kepada Gubernur Banten (sebelumnya ke Gubernur Jawa Barat),
melalui bupati Kabupaten
Lebak.
Di bidang pertanian, penduduk Kanekes Luar
berinteraksi erat dengan masyarakat luar, misalnya dalam sewa-menyewa tanah,
dan tenaga buruh.Perdagangan yang pada waktu yang lampau dilakukan secara barter, sekarang ini telah mempergunakan mata uang rupiah biasa. Orang Kanekes menjual hasil buah-buahan, madu, dan gula
kawung/aren melalui para tengkulak.
Mereka juga membeli kebutuhan hidup yang
tidak diproduksi sendiri di pasar. Pasar bagi orang Kanekes terletak di luar
wilayah Kanekes seperti pasar Kroya, Cibengkung, dan Ciboleger.
Pada saat ini orang luar yang mengunjungi
wilayah Kanekes semakin meningkat sampai dengan ratusan orang per kali
kunjungan, biasanya merupakan remaja dari sekolah, mahasiswa, dan juga para pengunjung dewasa lainnya. Mereka menerima para pengunjung tersebut,
bahkan untuk menginap satu malam, dengan ketentuan bahwa pengunjung menuruti
adat-istiadat yang berlaku di sana. Aturan adat tersebut antara lain tidak
boleh berfoto di wilayah Kanekes Dalam, tidak menggunakan sabun atau odol di
sungai. Namun demikian, wilayah Kanekes tetap terlarang bagi orang asing
(non-WNI). Beberapa wartawan asing yang mencoba masuk sampai sekarang selalu
ditolak masuk.
1) Sistem Ilmu Pengetahuan
Mayoritas
masyarakat Baduy Sunda namun mereka tak menutup diri untuk terus mempelajari
Bahasa nasional yakni bahasa Indonesia. Terbukti, tidak sedikit masyarakat
Baduy yang dapat berbahasa Indonesia.
3) Sistem Kesenian
Dalam
melaksanakan upacara tertentu, masyarakat Baduy menggunakan kesenian untuk memeriahkannya. Adapun
keseniannya yaitu:
1)
Seni Musi
2)
Alat musik
3) Seni Ukir
Batik.
4) Sistem Pola Mata Pencaharian
Kehidupan
orang Baduy berpenghasilan dari pertanian, dimulai pada bulan keampat kalender
Baduy yang dimulai dengan kegiatan nyacar yakni membersihkan semua belukar
untuk menyiapkan ladang. Ada 4 jenis lading untuk padi gogo yaitu humas serang,
merupakan suatu lading suci bagi mereka yang berpemukiman dalam. Huma tangtu
merupakan lading yang dikerjakan oleh orang Baduy Dalam
yang meliputi Huma tuladan atau huma jaro. Huma penamping merupakan ladang yang
dikerjakan oleh orang Baduy diluar kawasan tradisional. Sebagaimana yang telah terjadi selama ratusan
tahun, maka mata pencaharian utama masyarakat Kanekes adalah bertani padi
huma. Selain itu mereka juga mendapatkan penghasilan tambahan
dari menjual buah-buahan yang mereka dapatkan di hutan seperti durian
dan asam keranji,
serta madu
hutan.
5) Sistem Teknologi Peralatan
Kehidupan orang Baduy berpusat
pada daur pertanian yang diolah dengan menggunakan peralatan yang masih sangat
sederhana.seperti bedog, kampak, cangkul, dll.
BAB
III
KESIMPULAN
Kebudayaan adalah hasil budi atau akal manusia yang
mencapai kesempurnaan hidup. Suku Baduy yang merupakan salah satu kebudayaan yang terletak di desa
Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Rangkasbitung Banten. Baduy merupakan
suku yang tidak lepas dari budaya sehingga
masyarakatnya memilih menjadi masyarakat
tradisional yang anti modernisasi Suku
baduy memiliki 2 kelompok masyarakat yang terdiri dari baduy luar dan baduy
dalam. Kepercayaan yang mereka anut yaitu Sunda Wiwitan
yang lebih dekat dengan ajaran agama Hindu.
Baduy memiliki tujuh unsur kebudayaan yang masih mereka percayai untuk kelangsungan hidupnya. Tujuh unsur
tersebut yaitu, sistem religi dan kepercayaan, sistem organisasi dan sosial
kemasyarakatan, sistem ilmu pengetahuan, sistem bahasa, sistem kesenian, sistem
pola mata pencaharian, dan sistem teknologi peralatan yang berperan penting
dalam kehidupan mereka.
Jadi, suku baduy masih menjaga dan mempertahankan kebudayaan dan adat istiadatnya
di zaman yang sudah modern ini sehingga sebagai generasi muda seharusnya kita
dapat mengambil nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya.
Komentar
Posting Komentar